Halaman

SELAMAT DATANG DAN TERIMA KASIH TELAH MENGUNJUNGI BLOG BAHAN AJAR SEJARAH
Diberdayakan oleh Blogger.

KERAJAAN MATARAM ISLAM
Berdirinya Kerajaan Mataram berawal ketika Sultan Adiwijaya alias Jaka Tingkir dari Pajang meminta bantuan kepada Kyai Ageng Pamanahan untuk membinasakan Arya Penangsang. Sebagai imbalannya, Kyai Ageng Pemanahan diberi daerah Mataram, dialah yang menurunkan raja-raja Mataram Islam.

A.    Kehidupan Politik
Gambar 18. Peta kekuasaan Mataram Islam
Sutowijoyo mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram pertama dengan gelar  Panembahan Senopati (1586-1601) dengan Kotagede sebagai ibukotnya. Tindakan-tindakannya yang penting, antara lain sebagai berikut:
a.       Meletakkan dasar-dasar Kerajaan Mataram;
b.   Memperluas wilayah kekuasaan dengan menundukkan Surabaya, Madiun, dan Ponorogo ke timur dan ke barat berhasil menundukkan Cirebon dan Galuh.
Gambar 19. Sultan Agung
Pengganti Panembahan Senopati ialah Mas Jolang gugur di daerah Krapyak sehingga disebut Panembahan Seda Krapyak. Raja terbesar Kerajaan Mataram ialah Mas Rangsang dengan gelar Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645). Sultan Agung bercita-cita mempersatukan seluruh Jawa di bawah kekuasaan Mataram dan mengusir VOC dari Batavia. Masa pemerintahan Sultan Agung yang selama 32 tahun dibedakan atas dua periode, yaitu masa Penyatuan Kerajaan dan masa Pembangunan.
Masa Penyatuan Kerajaan (1613-1629) Sultan Agung menundukkan Gresik, Surabaya, Kediri, Pasuruan, Tuban, Lasem, Pamekasan, dan Sumenep, bahkan sampai ke luar Jawa, yakni Palembang, Sukadana, dan Goa.  Selanjutnya Sultan Agung merencanakan untuk menyerang Batavia.
Setelah Sultan Agung wafat, tidak ada raja pengganti yang memiliki kecakapan seperti Sultan Agung, bahkan ada raja yang menjalin kerja sama dengan VOC. Akibatnya, banyak terjadi pemberontakan, misalnya pemberontakan Adipati Anom yang dibantu Kraeng Galesung dan Monte Merano, pemberontakan Raden Kadjoran, serta pemberontakan Trunojoyo. Dalam menghadapi pemberontakan-pemberontakan tersebut, raja-raja Mataram,
misalnya Amangkurat I dan II, meminta bantuan VOC. Hal inilah yang menyebabkan raja-raja Mataram semakin kehilangan kedaulatan.
Setelah wafat pada tahun 1703, Amangkurat II digantikan oleh putranya, yaitu Sunan Mas (Amangkurat III). Pengangkatan Amangkurat III ditentang oleh Pangeran Puger, adik Amangkurat II. Akibatnya, terjadilah Perang Mahkota I (1704-1708) yang dimenangkan oleh Pangeran Puger  yang dibantu oleh VOC. Setelah naik takhta, Pangeran Puger bergelar Paku Buwono I (1708-1719). Adapun Amangkurat III melarikan diri ke daerah pedalaman Malang.
Paku Bowono I wafat (1719), takhta kerajaan diganti oleh putra mahkota, Sunan Prabu Mangkunegara yang bergelar Amangkurat IV (1719-1727). Pada masanya, berkobar Perang Mahkota II (1719-1723). Namun dapat dipadamkan oleh VOC. Takhta selanjutnya dipegang oleh Paku Buwono II (1727-1749) merupakan babak terakhir sejarah Kerajaan Mataram. Pada masanya, terjadi Perang Mahkota III (1947-1755). Raden Mas Said, putra Mangkunegara yang bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi, mengadakan pemberontakan terhadap Paku Buwono II. Seperti halnya Perang Mahkota I dan II. Perang Mahkota III ini pun melibatkan campur tangan VOC. Bahkan, sebelum Paku Buwono II wafat (1749), kekuasaan Mataram telah diserahkan kepada VOC.
Pengganti Paku Buwono II adalah putranya, Adipati Anom yang bergelar Paku Buwono III (1749-1788). Pada masa pemerintahannya (1755) diadakan Perjanjian Giyanti antara Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi untuk mengakhiri perebutan kekuasaan. Hasilnya, wilayah Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta dengan Paku Buwono III sebagai rajanya dan Kesultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I sebagai rajanya.
Perkembangan selanjutnya, Raden Mas Said dan Paku Buwono III menandatangani Perjanjian Salatiga (1757). Isinya, Raden Mas Said mendapatkan sebagian daerah Kasunanan Surakarta yang kemudian dikenal dengan nama Mangkunegaran. Dengan demikian, wilayah Mataram terbagi menjadi tiga, yaitu Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Mangkunegaran.

B.     Kehidupan Sosial Ekonomi
Kerajaan Mataram yang terletak di pedalaman merupakan sebuah kerajaan agraris dengan hasil utamanya beras. Pada masa Sultan Agung, kehidupan masyarakat Mataram mengalami perkembangan pesat. Pada masa ini hasil bumi Mataram cukup melimpah.
Perkembangan kehidupan sosial masyarakat Mataram tumbuh seiring dengan tumbuhnya Kerajaan Mataram sebagai kerajaan yang bersifat agraris. Sehubungan dengan hal tersebut, Mataram berusaha meningkatkan produktivitas sektor pertanian melalui peningkatan penghasilan dari daerah-daerah pesawahan serta memindahkan petani ke daerah Karawang yang subur. Bersamaan dengan itu lahirlah masyarakat feodal (sistem feodalisme) di Mataram yang ditandai dengan lahirnya:
a.    Orang yang berjasa kepada kerajaan dan berhasil memperluas tanah garapan;
b.  Para pejabat golongan bangsawan dan keluarga raja yang diberi tanah garapan yang bisa digarap oleh penduduk yang mendiaminya.
Dengan sistem seperti itu lahirlah tuan-tuan tanah di Jawa yang merasa bahwa daerah kekuasaannya itu adalah daerah miliknya. Susunan masyarakat feodal Mataram dibedakan antara penguasa dengan yang dikuasai, pemilik tanah dengan penggarap. Perbedaan ini ditandai dengan hak-haknya, simbol-simbol, bahasa yang dipergunakan, pemakaian gelar, upacara kebesaran, pakaian yang digunakan, hak-hak jabatan, dan lain-lain yang semuanya terus berlangsung dipertahankan sampai akhir Mataram pada abad ke-20.

C.    Kehidupan Budaya
Pada masa kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang, antara lain seni tari, seni pahat, seni sastra, dan sebagainya. Di samping itu juga muncul kebudayaan kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan jawa, Hindu, Buddha dengan Islam.
Upacara Garebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam sehingga muncul Garebeg Syawal pada hari raya Idul Fitri dan Garebeg Maulud pada bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh samsiah) maka sejak tahun 1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan (tarikh komariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru dan dikenal dengan tahun Jawa.
Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram menyebabkan berkembangnyaa kesusastraan Jawa. Sultan Agung mengarang kitab Sastra Gending yang berupa filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab Ramayana.